Rabu, 11 Mei 2011

Bolehkah Seorang Wanita Berangan-angan Menjadi Lelaki?

Soal :
 
Kenapa kaum lelaki di Surga nanti mendapatkan balasan berupa bidadari, namun tidak demikian kaum wanita? Dan kenyataanya nanti seorang wanita akan bersama-sama para bidadari Surga itu menjadi pendamping bagi suaminya. Adakah hal-hal lain yang bisa aku ketahui berkaitan dengan persoalan ini? Saya hanya tahu bahwa di Surga nanti akan banyak hal tidak sekedar perkawinan itu saja. Namun saya membutuhkan jawaban dari pertanyaan ini. Sudah lama sekalin pertanyaan ini menggelayuti kepala saya.
 

Jawab :
 
Sebagian Sahabat wanita Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa sallam ada yang pernah berangan-angan seandainya mereka menjadi lelaki, sehingga mereka bisa berjihad di jalan Allah. Maka turunlah firman Allah:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikarunia kan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu..” (An-Nisaa : 32)

Allah melarang kaum wanita itu untuk berangan-angan apa yang merupakan kekhususan bagi kaum lelaki. Allah menjadikan bagian tersendiri bagi kaum lelaki di dunia ini sebagaimana Allah memberikan pahala tertentu bagi kaum lelaki di Surga nanti. Demikian juga halnya bagi kaum wanita. Mohonlah kepada Allah yang Maha Mulia Lagi Maha Pemberi, niscaya Allah akan memberikan kepada kalian ganti dari apa yang kalian-angankan. Allah itu Maha Mengetahui dengan apa yang menjadi kemaslahatan para hamba-Nya, dengan kebajikan yang Allah bagi-bagikan kepada mereka.

Soal-jawab Keislaman

SUMBER : AR-RAHMAH 

Hukum Jimat atau Menggantungkan Jimat, dan Apakah Jimat Itu Dapat Menolak Hipnotis atau Hasad

Soal :
 
Saya ingin tahu, apakah boleh menggunakan jimat? Saya pernah membaca kitab At-Tauhid dan beberapa buku lain tulisan Bilal Filibis. Hanya saja, saya pernah mendapat sebagian hadits dalam Al-Muwattha yang membolehkan sebagian bentuk jimat. Dalam kitab tauhid juga disebutkan bahwa sebagian ulama As-Salaf membolehkan juga. Hadits-hadits tersebut ada pada juz ke lima dalam Al-Muwattha, disebutkan pada nomor 4, 11 dan 14. Kami harap, Syaikh memberikan jawaban, dan memberitahukan tentang keabsahan hadits-hadits itu,serta memberikan kepada saya pengetahuan dalam persoalan ini. Terima kasih


Jawab :
 
Kami tidak berhasil mendapatkan hadits yang hendak ditanyakan oleh penanya tentang keabsahannya. Karena kami tidak bisa mengenali hadits-hadits yang dimaksud. Sebab, penanya menyebutkan bahwa hadits-hadits itu dalam Al-Muwattha’ juz ke 50, padahal Al-Muwattha cuma ada satu juz saja. Oleh sebab itu, kami akan menyebutkan beberapa lafazh hadits yang bisa kami dapatkan dan telah dijelaskan hukumnya oleh para ulama, semoga sebagian di antaranya adalah hadits yang dikehendaki penanya:

1. Hadits dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci sepuluh hal: wewangian sufrah yakni khaluq, merubah warna uban menjadi hitam, melabuhkan kain, mengenakan cincin emas, memukul-mukulkan kaki, mengenakan perhiasan tidak pada tempatnya, menggunakan jampi-jampi selain dengan mu’awwidzat, mengalungkan jimat, memindahkan aliran air dari asalnya dan merusak anak, namun tidak sampai mengharamkannya.” (HR. An-Nasaa-i (50880) dan Abu Dawud (4222)

Arti khaluq adalah sejenis wewangian berwarna kuning. Memindahkan aliran air, artinya menghindarkan masuknya mani ke rahim Isteri. Merusak anak kecil, artinya adalah bersetubuh dengan isteri yang masih menyusui. Arti bahwa Nabi tidak mengharamkannya, yakni bahwa beliau hanya membencinya. Hadits tersebut dilemahkan oleh Muhammad Nasiruddien Al-Albani dalam Dha’if An-Nasaa-i (3075)

2. Dari Zainab binti Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhum, dari Abdullah diriwayatkan bahwa ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.” Zainab bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian? Demi allah, dahulu mataku pernah tertimpuk. Aku berbolak-balik datang menemui seorang Yahudi yang menjampi-jampiku. Apabila ia menjampiku, aku merasa senang.” Abdullah menanggapi: “Itu adalah amalan syetan. Syetan yang menusuk-nusuk dengan tangannya. Bila ia menjampi Anda, syetan itu menghilangkannya. Sebenarnya cukup bagi Anda mengucapkan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Adzhibil ba-sa Rabban naas, isyfi antasy Syafi, laa syifaa-a illa syifa-uk, syifaa-un laa yughadiru saqaman
 
“Hilangkanlah penyakit ini wahai Rabb sekalian manusia. Sembuhkanlah, sesungguhnya Engkau Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan lagi rasa sakit..”
 
(HR. Abu Dawud -3883-, dan Ibnu Majah -3530) Hadits itu dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (331) dan (2972)

3. Dari Utbah bin Amir Radhiallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengalungkan jimat, semoga Allah tidak menyempurnakan urusannya. Dan barangsiapa yang mengalungkan wad’ah semoga Allah tidak mengiringi dirinya.”
 
(HR. Ahmad -16951) Namun hadits tersebut dilemahkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jamie’ (5703)

4. Dari Utbah bin Amir diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditemui oleh sekelompok orang, lalu beliau membaiat sembilan di antara mereka dan tidak membaiat satu yang tersisa. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah! Engkau membaiat yang sembilan orang, tetapi tidak membaiat yang satu ini?” Beliau menjawab: “Karena ia mengalungkan jimat.” Orang itupun memasukkan tangannya ke balik bajunya dan mencopot kalung jimatnya. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiatnya. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengalungkan jimat, dia telah berbuat syirik..” (HR. Ahmad -16969–) Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (492)”

Kedua:

Tamaa-im (jimat) adalah jamak dari tamimah. Yaitu yang biasa dikalungkan di leher anak kecil atau orang besar, atau digantungkan di rumah-rumah dan dimobil, terbuat dari permata atau tulang untuk menolak bala khususnya dari serangan hipnotis, atau untuk mendapatkan manfaat.

Berikut ini pendapat para ulama berkaitan dengan jimat atau tama-im:

1. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata;
 
“Ketahuilah! Bahwa para ulama dari kalangan Sahabat dan Tabi’ien serta generasi sesudah mereka berbeda pendapat tentang bolehnya mengalungkan jimat yang berasal dari Al-Qur’an atau Asma dan sifat Allah. Segolongan menyatakan boleh, yakni pendapat dari Abdullah bin Amru bin Aash dan yang lainnya. Itulah yang pendapat yang jelas dari Aisyah. Demikian juga pendapat Abu Ja’far Al-Baaqir dan Ahmad dalam satu riwayat. Mereka memahami larangan dalam hadits tersebut adalah terhadap bentuk jimat yang mengandung syirik. Adapun yang berasal dari Al-Qur’an atau asma dan sifat Allah, maka sama saja hukumnya dengan ruqyah (jampi-jampi) menggunakan Al-Qur’an atau Asma dan Sifat Allah tersebut.

Saya katakan: Itu adalah pendapat yang jelas dari Ibnul Qayyim.

Segolongan lain menyatakan bahwa mengalungkan jimat itu tidak boleh. Itu adalah pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, juga merupakan pendapat yang jelas dari Hudzaifah, Uqbah bin Amir dan Ibnu Aqim. Pendapat ini juga diambil oleh banyak kalangan Tabi’in, di antaranya adalah para sahabat Ibnu Mas’ud dan juga Ahmad dalam satu riwayat yang dipilih banyak kalangan sahabat beliau. Kalangan Al-Mutaakhirin juga banyak mengambil pendapat tersebut. Mereka beralasan dengan hadits tersbut dan yang senada dengan hadits itu. Karena secara zhahir hadits itu bermakna umum, tidak membedakan antara jimat yang berasal dari Al-Qur’an atau berasal dari selain Al-Qur’an. Lain halnya dengan ruqyah atau jampi-jampi, memang dibedakan antara keduanya. Pendapat itu dikuatkan lagi dengan kenyataan bahwa para Sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut mendudukkan hadits-hadits itu dengan maknanya yang umum, sebagaimana riwayat terdahulu dari Ibnu Mas’ud.

Abu Dawud meriwayatkan dari dari Isa bin Hamzah bahwa ia menceritakan: Saya pernah menemui Abdullah bin Ukaim. Kala itu ia sedang demam. Aku berkata: “Kenapa tidak engkau kalungkan saja jimat?” Beliau berkata: “Na’udzu billah min dzalik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Barangsiapa yang mengalungkan jimat, maka ia akan disandarkan kepada jimat tersebut..”

Demikianlah perbedaan pendapat para ulama berkaitan dengan mengalungkan jimat dari Al-Qur’an atau nama dan sifat Allah. Sekarang bagaimana lagi dengan bid’ah-bid’ah yang terjadi kemudian seperti jampi-jampi dengan menggunakan nama-nama syetan dan yang lainnya, lalu mengalungkannya. Bahkan ditambah lagi dengan kebergantungan dengan syetan-syetan itu, meminta perlindungan dari mereka dan menyembelih untuk mereka, meminta mereka untuk selamat dari bahaya atau untuk mendapatkan manfaat tertentu yang jelas-jelas merupakan perbuatan syirik yang murni.

Demikianlah yang menjadi kebiasaan umumnya manusia, kecuali yang diselamatkan oleh Allah. Renungkanlah yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pendapat sekalian para Sahabat dan Tabi’ien, demikian juga yang dinyatakan oleh para ulama sesudah mereka dalam persoalan tersebut atau dalam persoalan-persoalan lain dalam buku ini. Kemudian lihatlah apa yang dikerjakan oleh generasi belakangan. Akan tampak bagi kita betapa asingnya ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang ini pada segala sisinya. Wallahu musta’an.” (Taisirul Azizil Hamied) hal. 136-138)

2. Syaikh Haifz Hukmi mengungkapkan:
 
“Apabila jimat itu berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas, atau berasal dari hadits-hadits yang jelas, masih ada perbedaan pendapat yang kental di kalangan para ulama As-Salaf dari kalangan Sahabat, Tabi’ien dan generasi sesudah mereka tentang boleh tidaknya. Sebagian mereka membolehkanya. Pendapat itu diriwayatkan dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, Abu Ja’far Muhammad bin Ali, dan yang lainnya. Sebagian lagi menahan diri, yakni membencinya dan menganggapnya tidak boleh. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abdullah bin Ukaim, Abdullah bin Amru, Uqbah bin Amir, Abdullah bin Mas’ud dan para sahabat beliau seperti Al-Aswad dan Alqamah. Demikian juga generasi sesudahnya seperti Ibrahim An-Nakha’ie dan yang lainnya -Rahimahullah–.

Tidak syak lagi, bahwa dengan menahan diri kita akan lebih bisa mencegah terjadinya keyakinan yang dilarang, terutama pada jaman sekarang ini. Karena kalau kebanyakan para Sahabat dan Tabi’ien melarang pada masa kehidupan mereka yang agung dan bernilai, sementara iman mereka lebih besar dari pada gunung, tentu pada masa sekarang ini lebih layak dan lebih pantas untuk dilarang; di jaman yang penuh dengan godaan dan cobaan. Bagaimana tidak? Dengan adanya keringanan-keringanan hukum semacam itu, mereka bisa saja menggunakannya sebagai tangga melakukan berbagai hal yang diharamkan, menjadikannya sebagai sarana dan sebagai cara untuk melakukan perbuatan-perbuatan haram tersebut. Di antara contohnya, bahwa mereka menuliskan ta’awwuddz, ayat, surat, bismillah dan sejenisnya, namun dibawahnya mereka tuliskan juga berbagai mantera syetan yang hanya dapat dikenali oleh orang yang menelaah buku-buku mereka.

Contoh lain, bahwa dengan menggunakan keringanan hukum itu mereka memalingkan hati orang banyak dari rasa tawakkal kepada Allah menjadi tawakkal kepada apa yang mereka tulis. Bahkan banyak orang yang berasa gentar kepada mereka, meskipun ia tidak terkena bahaya apapun dari mereka. Salah seorang di antara mereka misalnya datang kepada orang yang hendak ia preteli uangnya, sementara ia sudah tahu bahwa orang itu sudah demikian menggandrunginya. Ia berkata: “Anda akan terkena musibah ini dan itu pada keluarga atau harta Anda.” Atau mengatakan: “Sesungguhnya ada makhluk halus yang menemani Anda,” dan sejenisnya. Atau menggambarkan kepada berbagai bentuk tanda-tanda gangguan syetan, dengan memberi kesan bahwa ia orang yang tajam firasatnya, merasa kasihan sekali kepadanya dan bertekad menolongnya. Apabila hati orang yang bodoh dan bebal itu sudah dipenuhi rasa takut terhadap semua gambaran itu, mulailah ia berpaling dari Allah dan menghadap kepada dajjal pembohong itu dengan segenap hati, bersandar dan bertawakkal kepadanya, bukan kepada Allah.

Ia akhirnya terpaksa berkata: “Lalu bagaimana jalan keluarnya dari kondisi demikian? Apa kiat menolak bencana tersebut?” Seolah-olah orang itu memiliki kemampuan memberi mudarrat dan manfaat. Dengan cara itu, keinginan dan harapannya akan tercapai. Semakin berhasratlah ia untuk mendapatkan uang yang pasti akan dikeluarkan oleh sang korban. Ia akan berkata: “Kalau Anda mau memberi saja uang sekian, akan saya berikan kepada Anda tameng dari semua itu yang panjang dan lebarnya sekian dan sekian.” Ia memberikan gambaran dan menghias-hiasi ucapannya kepada korbannya itu. Bahwa tamengnya itu dapat memelihara dirinya dari sekian jenis penyakit. Apakah kita menganggap perbuatan tersebut dengan keyakinan itu termasuk perbuatan syirik kecil? Tidak, justeru itu termasuk penyembahan selain Allah, bertawakkal kepada selain Allah dan bersandar kepadanya, bahkan cenderung kepada perbuatan makhluk dan mencabut pelakunya dari agamanya. Syetan hanya mampu membuat kiat yang semacam itu dengan pertolongan saudaranya dari kalangan syetan manusia.

Firman Allah:
 
“Katakanlah:”Siapakah yang dapat memelihara kamu di waktu malam dan siang hari selain (Allah) Yang Maha Pemurah” Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari mengingati Rabb mereka…” (Q.S Al-Anbiyaa : 42)

Kemudian di samping menuliskan mantera-mantera syetannya, ia juga menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an dan mengalungkannya tanpa bersuci lagi, dalam keadaan berhadats kecil maupun besar. Dengan itu, mereka sama sekali tidak menyucikan Al-Qur’an itu dari segala yang tak pantas. Demi Allah! Tidak ada seorangpun musuhi-musuh Allah yang menghina Kitab-Nya sebagaimana penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim itu. Dan demi Allah! Al-Qur’an itu hanya diturunkan untuk dibaca, diamalkan dan diikuti perintah-perintahnya serta dijauhi larangan-larangannya, dipercayai beritanya dan dipatuhi aturannya, diambil pelajaran dari permisalan yang diberikannya dan dari kisah-kisah yang tercantum di dalamnya, lalu diimani seluruhnya (semuanya berasal dari sisi Rabb kami). Sementara mereka justeru telah melanggar itu semua dan mencampakkannya di belakang punggung mereka. Mereka hanya menghafal kulitnya saja, untuk dijadikan alat mencari makan dan mengais rezeki sebagaimana berbagai cara lain yang mereka gunakan untuk memperoleh yang haram, bukan yang halal. Kalau ada seorang raja atau gubernur yang menyuruh bawahannya untuk mengerjakan sesuatu, meninggalkan hal-hal tertentu, menyuruh demikian dan melarang demikian, dan sejenisnya, lalu bawahannya itu mengambil surat perintah itu tanpa membacanya, tidak memikirkannya baik perintah maupun larangannya, tidak juga ia sampaikan kepada orang lainnya harus mengetahuinya, namun ia hanya mengalungkanya di lehernya, atau mengikatnya tanpa mengindahkan sedikitpun isinya sama sekali; sudah tentu, sang raja akan memberinya hukuman seberat-beratnya dan pasti akan memberikan kepadanya siksaan yang pedih. Apalagi bila titah itu adalah yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa Pemilik langit dan bumi, yang memiliki sifat-sifat yang tinggi di langit dan di bumi, Yang berhak atas segala pujian di dunia dan di akhirat, yang segala urusan dikembalikan kepada-Nya. Beribadahlah kepada-Nya, bertawakkallah kepada-Nya. Dia-lah Yang Mencukupi diri kita, tidak ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Dia. Dia adalah Rabb dari Arsy yang agung. Jadi, bila jimat itu berasal dari selain Al-Qur’an dan Hadits, maka itu adalah syirik yang jelas. Bahkan sama bentuknya dengan undian menggunakan cawan-cawan sebagai penentu sikap (di masa jahiliyyah), ditilik dari jauhnya dari sifat-sifat Islam terdahulu.

Apabila jimat itu berasal dari selain Al-qur’an dan hadits, bahkan berasal dari mantera-mantera Yahudi dan para penyembah kuil, bintang-bintang dan para malaikat, atau berasal dari para pelayan jin dan sejenisnya, atau berasal dari permata, tali senar atau kalung besi dan sejenisnya, maka semua itu adalah syirik. Yakni bahwa mengalungkannya sebagai jimat adalah syirik, tidak diragukan lagi. Karena bukan termasuk cara yang dibolehkan, dan bukan termasuk pengobatan yang lazim. Justeru dengan cara itu mereka meyakini secara lepas bahwa semua itu dapat menolak bahaya ini dan itu, yakni bahaya berbagai rasa sakit, karena khasiatnya. Mereka berkeyakinan dalam hal itu sebagaimana yang diyakini oleh para penyembah berhala terhadap berhala mereka. Mirip atau bahkan serupa dengan berhala-berhala terbuat dari cawan-cawan di masa jahiliyyah yang dijadikan alat mengundi, kalau mereka menginginkan sesuatu. Yakni cawan-cawan yang diberi tulisan, salah satunya berisi tulisan: “Lakukan,” yang kedua: “Jangan lakukan,” sedang yang ketiga: “Biarkan.” Kalau yang keluar adalah yang bertulisan “lakukanlah,” maka segera dilakukan. Bila yang keluar adalah yang bertulisan “jangan lakukan,” mereka tidak jadi mengerjakannya. Dan bila yang keluar adalah yang bertulisan “biarkan,” mereka mengocoknya kembali. Allah telah menggantikan cara itu untuk kita dengan cara yang lebih baik, Al-Hamdulillah, yakni shalat istikharah berikut doanya.

Sasaran pembahasan di sini, bahwa semua jenis jimat yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan Hadits adalah syirik, seperti undian dengan cawan tadi, dilihat dari keyakinan batil dan pelanggaran terhadap syariat Allah, serta jauhnya perbuatan itu dari sifat-sifat Islam sesungguhnya, yakni dari ciri khas Islam. Karena Ahli Tauhid sejati amatlah jauh dari sikap semacam itu. Iman dalam hati mereka terlalu besar untuk bisa dimasuki keyakinan semacam itu. Mereka terlalu mulia dan terlalu bagus keyakinannnya untuk harus bertawakkal kepada selain Allah, atau bertakwa kepada selain-Nya. Wa billahit Taufik.” (Ma’arijul Qabul II : 510-512)
Sementara pendapat yang melarang menggunakan jimat meskipun berasal dari Al-Qur’an sekalipun adalah pendapat guru-guru kami.

3. Al-Lajnah Ad-Daa-imah menyatakan:

“Para ulama bersepakat tentang haramnya menggunakan jimat dari selain Al-Qur’an. Namun mereka masih berbeda pendapat bila berasal dari Al-Qur’an. Di antara mereka ada yang membolehkannya dan ada juga yang melarangnya. Namun pendapat yang melarang itu lebih kuat, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang ada, dan demi mencegah terjadinya keharaman.”

(Syaikh Ibnu Baaz -Rahimahullah– , Syaikh Abdullah Ibnu Ghadiyan dan Syaikh Abdullah bin Qu’uud. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa-imah I : 212)

4. Syaikh Al-Albani -Rahimahullah-berkata:

“Kesesatan ini masih saja meraja-lela di kalangan orang-orang badui, para petani bahkan juga orang-orang kota. Di antaranya adalah sejenis kalung yang digantungkan oleh para supir di depan mereka di kaca mobil. Sebagian mereka ada yang menggantungkan sendal butut di depan atau di belakang mobil. Ada lagi yang bahkan menggantungkan sepatu kuda di muka rumah atau tokonya. Menurut keyakinan mereka, semua itu untuk menolak sihir. Dan banyak lagi berbagai hal lain yang meraja lela di mana-mana karena tidaktahuan orang terhadap tauhid dan yang menjadi lawan tauhid, yakni berbagai perbuatan syirik dan berhalaisme (paganisme). Seluruh rasul diutus dan seluruh kitab diturunkan semata-mata hanya untuk menyanggah dan memberantas semua itu. Hanya kepada Allah-lah kita mengadukan ketidaktahuan kaum muslimin sekarang dan jauhnya mereka dari agama-Nya.” (Silsilatul ahadits Ash-Shahihah 492, I : 890) Wallahu A’lam.

Islam Tanya & Jawab

Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

SUMBER : AR-RAHMAH 

Bolehkan Kita Memohon Kepada Allah Untuk Merubah Takdir-Nya?

“Ya Allah, aku tidak memohon kepada-Mu untuk mengubah takdir-Mu, namun aku hanya memohon agar engkau bersikap lembut kepadaku.” 

Demikian doa yang sering diucapkan sebagian orang. Sejauh mana keabsahan dari doa tersebut?



Alhamdulilllah. Doa itu seringkali diucapkan orang. Namun itu doa yang sama sekali tidak pantas. Karena Allah hanya menyariatkan kepada kita untuk memohon kepada Allah merubah ketetapan-Nya, bila mengandung keburukan. Oleh sebab itu Imam Al-Bukhari menulis satu bab dalam Shahihnya, bab: Orang yang meminta perlindungan kepada Allah dari kecelakaan, dari takdir yang buruk; dan firman Allah:

“Katakanlah: aku berlindung kepada Allah dari kejahatan ciptaan-Nya..” (Al-Falaq : 1-2).

Kemudian beliau menyitir sabda Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari bencana yang berat, dari kecelakaan, dari takdir yang buruk.” Kitabul Qadar VII : 215)

Dari buku Al-Iman Bil Qadha wal Qadhar oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd hal. 47

SUMBER : AR-RAHMAH 

Tauhid adalah syarat diterimanya amal shaleh

Amal shalih apapun, baik itu shalat, shaum,zakat, haji, infaq, birrul walidain (bakti pada orang tua) dan sebagainya tidak mungkin diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada pahalanya bila tidak disertai tauhid yang bersih dari syirik. Berapa banyaknya amal kebaikan yang dilakukan seseorang tetap tidak mungkin ada artinya bila pelakunya tidak kufur kepada thaghut, sedangkan seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah apabila dia tidak kufur kepada thaghut. Anda telah mengetahui makna kufur kepada thaghut beserta thaghut-thaghut yang mesti kita kafir kepadanya. Kufur kepada thaghut serta iman kepada Allah adalah dua hal yang dengannya orang bisa dikatakan mukmin dan dengannya amalan bisa diterima, Allah ta’ala berfirman : “Siapa yang melakukan amal shalih baik laki-laki atau perempuan sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan” (An Nahl : 97)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan pahala amal shalih hanya bagi orang mukmin, sedang orang yang suka membuat tumbal, sesajen, meminta kepada orang yang sudah mati atau mengusung demokrasi atau nasionalisme dan falsafah system syirik lainya dia bukanlah orang mukmin, tetapi dia musyrik, karena tidak kufur kepada thaghut, sehingga shalat, shaum, zakat dan ibadah lainnya yang dia lakukan tidaklah sah dan tidak ada pahalanya.

Juga Allah ta’ala berfirman : “Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedangkan dia mukmin, maka mereka masuk surga seraya mereka diberi rizqi didalamnya tanpa perhitungan” (Ghafir/Al Mukmin : 60)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan pahala masuk surga bagi orang yang beramal shalih dengan syarat bahwa dia mukmin, sedangkan para pendukung Pancasila, Demokrasi, dan Undang Undang Dasar buatan tidaklah dikatakan mukmin, karena tidak kufur kepada thaghut, tapi justeru dia adalah hamba thaghut.

Juga dalam firmanNya ta’ala : “Dan siapa yang melakukan amalan-amalan shalih baik laki-laki atau perempuan, sedang dia itu mukmin, maka mereka masuk surga dan mereka tidak dizalimi barang sedikitpun” (An Nisa : 124)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan pahala surga bagi orang yang beramal shalih, dengan syarat dia mukmin, sedangkan aparat thaghut, Demokrasi, Pancasila, Undang Undang Dasar buatan dan Pemerintah kafir mereka itu bukan mukmin, karena tidak kafir terhadap thaghut, bahkan mereka menjadi pelindung dan benteng thaghut.

Juga firmanNya ta’ala : “Dan siapa yang melakukan amal-amal shalih sedang dia itu mukmin, maka dia tidak takut dizalimi dan tidak pula takut akan dikurangi” (Thaha : 112) ini berbeda dengan orang musyrik dan kafir, dia tidak dapat apapun dari amal shalih yang dia kerjakan.

Juga firmanNya ta’ala : “Dan siapa yang melakukan amal shalih, sedang dia itu mukmin maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya dan sesungguhnya Kami tuliskan bagi dia apa yang dia lakukan” (Al Anbiya : 94)

Sedangkan para penguasa system syirik dan para pejabatnya serta para anggota parlemennya bukanlah orang mukmin tetapi mereka adalah Thaghut.

Semua ayat mengisyaratkan iman untuk diterimanya amal shalih, sedangkan para penyembah kuburan atau batu atau pohon keramat atau pengusung demokrasi atau hukum buatan manusia atau falsafah syirik (seperti Pancasila, dan Undang Undang Dasar buatan) atau aparat keamanan penguasa thaghut bukanlah orang yang kafir terhadap thaghut.

Jadi, kemanakah amalan-amalan yang mereka lakukan? Maka jawabannya ; hilang, sirna lagi sia-sia, sebagaimana firmanNya Subhanahu Wa Ta’ala: “Sungguh, bila kamu berbuat syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi” (Az Zumar : 65)

Amalan-amalan yang banyak itu hilang sia-sia dengan satu kali saja berbuat syirik, maka apa gerangan apabila orang tersebut terus-menerus berjalan diatas kemusyrikan, padahal ayat ini ancaman kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin berbuat syirik. Dan begitu juga para nabi semuanya diancam dengan ancaman yang sama. Allah ta’ala berfirman : “Dan bila mereka berbuat syirik, maka lenyaplah dari mereka apa yang pernah mereka amalkan” (Al An’am : 88) Ya, lenyap bagaikan debu yang disapu angin topan, sebagaimana firmanNya ta’ala : “Amalan-amalan mereka (orang-orang musyrik/kafir) adalah bagaikan debu yang diterpa oleh angin kencang di hari yang penuh badai” (Ibrahim : 18) Dalam ayat ini Allah serupakan amalan orang-orang kafir dengan debu, dan kekafiran/kemusyrikan mereka diserupakan dengan angina topan. Apa jadinya bila debu diterpa angin topan… ? tentu lenyaplah debu itu.

Allah juga mengibaratkan amalan orang kafir itu dengan fatamorgana : “Dan orang-orang kafir amalan mereka itu bagaikan fatamorgana ditanah lapang, yang dikira air oleh orang yang dahaga, sehingga tatkala dia mendatanginya ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa, justeru dia mendapatkan Allah disana kemudian Dia menyempurnakan penghisabanNya” (An Nur : 39)

Orang yang musyik disaat dia melakukan shalat, zakat, shaum, dan sebagainya, mengira bahwa pahalanya banyak disisi Allah, tapi ternyata saat dibangkitkan dia tidak mendapatkan apa-apa melainkan adzab!
Dalam ayat lain amalan-amalan mereka itu bagaikan debu yang bertaburan : “Dan Kami hadapkan apa yang telah mereka kerjakan berupa amalan, kemudian Kami jadikannya debu yang bertaburan” (al Furqan : 23)
Sungguh… sangatlah dia merugi sebagaimana dalam ayat lain : “Katakanlah, “Apakah kalian mau kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi amalannya, yaitu orang-orang yang sia-sia amalannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan baik?” (Al Kahfi : 102-104)

Ya, memang mereka rugi karena mereka lelah, capek, letih, berusaha keras, serta berjuang untuk amal kebaikan, tapi ternyata tidak mendapat apa-apa karena tidak bertauhid. Allah ta’ala berfirman : “Dia beramal lagi lelah, dia masuk neraka yang sangat panas” (Al Ghasyyiah : 3-4).

Ini (tauhid) adalah syarat paling mendasar yang jarang diperhatikan oleh banyak orang. Masih ada dua syarat lagi yang berkaitan dengan satuan amalan, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Dan berikut ini adalah penjelasan ringkasnya :

Pertama : Ikhlas. Orang yan melakukan amal shaleh akan tetapi tidak ikhlas ,justeru dia ingin dilihat orang atau ingin didengar orang, maka amalan-amalan itu tidak diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana firmanNya : “Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah dia beramal shalih dan tidak menyekutukan sesuatupun dalam ibadah kepada Tuhannya” (Al Kahfi : 110)
Ayat ini berkenaan dengan ikhlas, orang yang saat melakukan amal shalih dan dia bertujuan yang lain bersama Allah maka ia itu tidak ikhlas.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsiy : “Bahwa Allah berfirman : ‘Aku adalah yang paling tidak butuh akan sekutu, siapa yang melakukan amalan dimana dia menyekutukan yang lain bersamaKu dalam amalan itu, maka Aku tinggalkan dia dengan penyekutuannya” (HR. Muslim)

Kedua : Mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Rasul). Amal ibadah meskipun dilakukan dengan ikhlas akan tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka pasti ditolak. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasarnya dari kami , maka itu tertolak” (HR. Muslim) Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : “Jauhilah hal-hal yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. At Tirmidzi)
Sedikit amal tapi diatas Sunnah adalah lebih baik daripada banyak amal dalam bid’ah. Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata : “Ikutilah (tuntunan Rasulullah) dan jangan mengada-ada yang baru” Jadi, dalam urusan ibadah, antum harus bertanya pada diri sendiri : “Apa landasan atau dalil yang kamu jadikan dasar? Karena siapa kamu beramal ?” Apabila tidak mengetahui dasarnya maka tinggalkanlah amalan itu karena hal itu lebih selamat bagi kita.
wallahu a’lam bis showab..
  
SUMBER : AR-RAHMAH

Kalau Seseorang Mati Meninggalkan Kebajikan Sementara Ia Kafir Apakah Kebajikan Itu berguna Baginya?

Soalan:

Kalau seorang non muslim menjalani hidupnya jauh dari maksiat dan dosa besar, selalu menjalankan kebajikan sebatas yang dia mampu, iapun hidup dengan baik meski di luar agama Islam, apakah ia bisa masuk Surga dengan amal kebajikan yang dia lakukan, sementara ia tidak menerima tauhid kepada Allah (secara sadar atau karena tidak tahu)? Atau ia akan masuk Neraka dan tidak akan selamat? Tolong dijelaskan.


Jawaban:
 
Al-Hamdulillah. Sesungguhnya apabila seseorang meninggal di luar Islam, tidak akan mungkin masuk Surga berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya jannah, dan tempatnya ialah naar, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maa-idah : 72)
Sementara semua amal kebajikan yang dilakukannya padahal ia masih kafir, tidak akan berguna di akhirat sedikitpun, dan tempat kembalinya adalah Neraka. Dasarnya adalah firman Allah:
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi..” (Ali Imraan : 85)
Demikian juga firman Allah:
” Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan…” (Al-Furqaan : 23)
Juga firman Allah:
” Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan..” (Al-A’raaf : 147)
Aisyah -Radhiallahu ‘anha– pernah bertanya persis dengan yang ditanyakan oleh penanya di atas: “Wahai Rasulullah! Ibnu Juz’an dahulu di masa jahiliyyah selalu menjaga hubungan silaturrahmi dan memberi makan fakir miskin. Apakah itu berguna baginya di akhirat?” Beliau menjawab: “Tidak akan berguna baginya. Karena ia tidak pernah mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti.” (HR. Imam Muslim dalam Shahih-nya 214)
Adapun apabila orang kafir itu belum mendengar tentang Islam dan belum sampai dakwah kepadanya, maka Wallahu A’lam, Allah akan mengujinya di Hari Kiamat nanti.

Islam Tanya Jawab


SUMBER : AR-RAHMAH

Doa Untuk Orang Tua yang Tidak Jelas Keislamannya

Ada orang yang masuk Islam, namun kedua orang tuanya masih kafir. Lalu ia menjadi tawanan ketika ia masih kecil. Kedua orang tuanya sudah meninggal, sementara ia tidak mengetahui apakah kedua orang tuanya sudah masuk Islam atau belum? Berat sangkanya bahwa ibunya sudah masuk Islam, namun bapaknya tidak. Apakah boleh ia memohonkan ampunan dan rahmat untuk keduanya?


Jawaban:
 
Ia tidak boleh mendoakan mereka berdua secara khusus, karena pada asalnya mereka masih dalam kekafiran (sebelum jelas keislamannya). Sementara mendoakan orang kafir adalah haram. Allah berfirman:

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (QS.At-Taubah : 113)
 
Akan tetapi dia dianjurkan untuk berdoa memohan ampunan rahmat bagi setiap muslim dari kedua orang tuanya semuanya. Termasuk juga di antaranya ibu, bapak dan kakek dan nenek moyangnya hingga sampai kepada Adam -’alaihissalam–. Wallahu A’lam.

Dari Fatawa Imam An-Nawawi hal. 84

SUMBER : AR-RAHMAH 

Kematian mendadak semakin banyak di akhir zaman, waspadalah!

Oleh: Ustadz Abu Harits Badru Tamam, Lc

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala limpahan nikmat. Tidak ada satu nikmat kecuali itu berasal dari-Nya. Karenanya, kita harus senantiasa bersyukur kepada-Nya dengan menggunakan segala nikmat untuk taat kepada-Nya.



Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang senantiasa bersyukur kepada Allah dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya hingga bengkak kedua kakinya. Semoga shalawat dan salam juga dilimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya serta siapa saja yang meniti sunnah-sunnahnya.

Kabar duka menimpa anak negeri ini dini hari tadi sekitar pukul 00.00 WIB (Sabtu, 5 Februari 2011). Raden Pandji Chandra Pratomo Samiadji Massaid atau yang lebih dikenal dengan Adjie Massaid, politikus senayan dari partai Demokrat menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Selatan. Kabarnya, ia meninggal karena serangan jantung setelah sebelumnya sempat bermain futsal.


Kematian Adjie yang bertubuh atletis dan dikenal memiliki gaya hidup sehat dengan rajin berolahraga, tergolong mendadak. Sehingga mengejutkan semua pihak, (tulis Kompas.com/ Sabtu, 5 Februari 2011). Bahkan menurut rekan se-profesi dan satu partai dengannya, Ruhut Sitompul, selama ini Adjie tidak pernah mengeluh tentang penyakitnya
.
“Saya kaget. Enggak ada tanda-tanda, siang masih sama saya, rapat fraksi. Kami pisah dia mau Jumatan (shalat Jumat),” katanya ketika ditemui di kediaman Adjie, Jalan Taman Cilandak II Blok E Nomor 14, Cilandak Barat, Jakarta, Sabtu (5/2/2011).

Kematian Datang Tanpa Diundang
 
Sesungguhnya kematian merupakan misteri bagi manusia. Tak seorangpun yang tahu kapan datangnya. Namun satu kepastian bahwa ajal (waktu kematian) seseorang sudah tercatat jauh hari di Lauhul Mahfudz sebelum manusia diciptakan. Dan ketika seseorang sudah tiba ajalnya, maka tidak bisa diajukan barang sesaat ataupun diundurkan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf: 34)

Setelah kematian maka kesempatan beramal telah habis. Manusia akan mendapatkan balasan dari amal-amal perbuatannya di alam kubur, berupa nikmat atau adzab kubur. Dan ketika sudah terjadi kiamat, dia akan dibangkitkan dan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di hadapan Allah.

Maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS.Al-A’raf:35)

Sedangkan orang yang kafir dan ingkar terhadap kebenaran Islam, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.“(QS.Al-A’raf:36)

Kematian Mendadak Semakin Marak di Akhir Zaman
 
Kasus Meninggal mendadak seperti yang terjadi pada Adjie Massaid sudah atau sering kita dengar dalam keseharian kita. Dan di akhir zaman, jumlahnya semakin banyak sebagimana yang diungkapkan oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah.
 
Dalam kitabnya tersebut, Yusuf al-Wabil menyebutkan bahwa kematian yang datang tiba-tiba atau mendadak merupakan salah satu dari tanda dekatnya kiamat. Hal ini didasarkan pada beberapa kabar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satunya hadits marfu’ dari Anas bin Malik radliyallah ‘anhu,

إِنَّ مِنْ أَمَارَاتِ السَّاعَةِ . . . أَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجْأَةِ

Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah  . . . akan banyak kematian mendadak.” (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir no. 5899)

Fenomena kematian mendadak ini sudah sering kita saksikan pada masa sekarang. Orang yang sebelumnya sehat bugar, -beraktifitas seperti biasa, atau bahkan berolah raga sepak bola, futsal, badminton dan semisalnya- tiba-tiba ia terjatuh lalu meninggal dunia. Hal ini dibenarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) berdasarkan sebuah penelitian, setiap tahunnya banyak orang meninggal karena stroke dan serangan jantung. Bahkan disebutkan kalau penyakit jantung menempati urutan pertama yang banyak menyebabkan kematian pada saat ini.

Dalam hadits di atas terdapat mukjizat ilmiah yang kita benarkan melalui kajian kedokteran yang harus diakui. Mukjizat ini membuktikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang tidak berbicara berdasar hawa nafsunya, tapi yang beliau sampaikan adalah wahyu dari Allah yang diturunkan kepada beliau.

Rasanya orang yang hidup pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tak pernah membayangkan akan datangnya zaman yang merebaknya kematian mendadak, kecuali berdasarkan wahyu ilahi yang menyingkap fenomena ini.

Maksud Kematian Mendadak
 
Banyak sebab kematian, tapi kematian itu tetap satu. Hal ini menunjukkan bahwa kematian memiliki sebab, seperti sakit, kecelakaan, atau bunuh diri dan semisalnya. Sedangkan kematian yang tanpa didahului sebab itulah maksud kematian yang mendadak yang belum bisa diprediksi sebelumnya.
Seiring majunya ilmu kedokteran, manusia bisa menyingkap tentang sebab kematian seperti kanker, endemik, atau penyakit menular. Penyakit-penyakit ini mengisyaratkan dekatnya kematian, tetapi sebab yang utama adalah mandeknya jantung secara tiba-tiba yang datang tanpa memberi peringatan.

Para ulama mendefinisikan kematian mendadak sebagai kematian tak terduga yang terjadi dalam waktu yang singkat dan salah satu kasusnya adalah seperti yang dialami orang yang terkena serangan jantung.
Imam al-Bukhari dalam shahihnya membuat sebuah bab, بَاب مَوْتِ الْفَجْأَةِ الْبَغْتَةِ ”Bab kematian yang datang tiba-tiba”. Kemudian beliau menyebutkan hadits Sa’ad bin ‘Ubadahradliyallah ‘anhu ketika berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku yakin seandainya ia berbicara sebelum itu, pastilah dia ingin bersedekah. Maka dari itu, apakah dia akan mendapat pahala apabila jika aku bersedekah untuknya?” Beliaupun menjawab, “Ya“. (Muttafaq ‘alaih)
 
Kematian Mendadak Dalam Pandangan Ulama
 
Sebagian ulama salaf tidak menyukai kematian yang datang secara mendadak, karena dikhawatirkan tidak memberi kesempatan seseorang untuk meninggalkan wasiat dan mempersiapkan diri untuk bertaubat dan melakukan amal-amal shalih lainnya. Ketidaksukaan terhadap kematian mendadak ini dinukil Imam Ahmad dan sebagian ulama madzhab Syafi’i. Imam al-Nawawi menukil bahwa sejumlah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang shalih meninggal secara mendadak. An-Nawawi mengatakan, “Kematian mendadak itu disukai oleh para muqarrabin (orang yang senantiasa menjaga amal kebaikan karena merasa diawasi oleh Allah).” (Lihat (Fathul Baari: III/245)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Dengan demikian, kedua pendapat itu dapat disatukan.” (Fathul Baari: III/255)
Terdapat keterangan yang menguatkan bahwa kematian mendadak bagi seorang mukmin tidak layak dicela. Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallah ‘anhu, dia berkata, “Kematian mendadak merupakan keringanan bagi seorang mukmin dan kemurkaan atas orang-orang kafir.” Ini adalah lafadz Abdul Razaq dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, sedangkan lafadz Ibnu Abi Syaibah, “Kematian mendadak merupakan istirahat (ketenangan) bagi seorang mukmin dan kemurkaan atas orang kafir.” (HR. Abdul Razaq dalam al Mushannaf no. 6776, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. no. 8865)
Dari Aisyah radliyallah ‘anha, berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai kematian yang datang tiba-tiba. Lalu beliau menjawab,

رَاحَةٌ لِلْمُؤْمِنِ وَأَخْذَةُ أَسَفٍ لِفَاجِرٍ

Itu merupakan kenikmatan bagi seorang mukmin dan merupakan bencana bagi orang-orang jahat.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad no. 25042, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10218. Syaikh al Albani mendhaifkannya dalam Dha’if al Jami’ no. 5896)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dan Aisyah radliyallah ‘anhuma, keduanya berkata, “Kematian yang datang mendadak merupakan bentuk kasih sayang bagi orang mukmin dan kemurkaan bagi orang dzalim.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf III/370, dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al Kubra III/379 secara mauquf).

Alangkah indahnya hadits yang dijadikan sebagai penguat oleh Imam al-Baihaqi dalam al Sunan al-Kubra pada kitab “Al-Janaiz” Bab, “Fi Mautil Faj’ah”, dari hadits Abu Qatadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dilalui iring-iringan jenazah. Beliau lalu bersabda, “Yang istirahat dan yang diistirahatkan darinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksud yang istirahat dan yang diistirahatkan darinya?” Beliau menjawab,

الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

Seorang hamba yang mukmin beristirahat dari keletihan dunia dan kesusahannya, kembali kepada rahmat Allah. Sedangkan hamba yang jahat, para hamba, negeri, pohon dan binatang beristirahat (merasa aman dan tenang) darinya.” (HR. Muslim no. 950, Ahmad no. 21531)

Kematian mendadak yang dialami seorang mukmin adalah kebaikan baginya. Dia merdeka dari hiruk pikuk dunia yang menjemukan dan terbebas dari fitnah-fitnahnya. Sedangkan Kematian mendadak yang dialami seorang fajir merupakan kabar gembira bagi hamba  Allah. Mereka akan terbebas dari gangguannya. Di antara gangguannya adalah kedzalimannya terhadap mereka, kesenangannya melakukan kemungkaran dan jika diingatkan malah menantang dan itu menyulitkan mereka. Jika diingatkan malah menyakiti dan bila didiamkan mereka menjadi berdosa. Sedangkan istirahatnya binatang adalah dikarenakan sang fajir tadi selalu menyakiti dan menyiksanya serta membebani di luar kemampuannya, tidak memberinya makan dan yang lainnya. Sedangkan istirahatnya negeri dan pepohonan adalah karena perbuatan jahat sang fajir hujan tidak turun, dia mengeruk kekayaannya dan tidak mengairinya.

Kematian mendadak merupakan keringanan bagi seorang mukmin dan kemurkaan atas orang-orang kafir.“ Ibnu Mas’ud

Menyikapi Kematian Mendadak
 
Bagi orang yang berakal sehat tentu akan mengambil pelajaran dari fenomena yang ia saksikan. Terlebih fenomena tersebut telah disampaikan oleh orang yang terpercaya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka sepantasnya ia segera kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya, sebelum kematian itu menjemputnya.

Imam al-Bukhari pernah berkata,

“Peliharalah waktu ruku’mu ketika senggang. Sebab, boleh jadi kematian akan datang secara tiba-tiba. Betapa banyaknya orang yang sehat dan segar bugar. Lantas meninggal dunia dengan tiba-tiba”

Dan setelah memahami adanya kematian yang mendadak, dan semakin sering terjadi pada akhir zaman (termasuk zaman kita ini), hendaknya kita mempersiapkan diri dengan bersegera menyambut seruan Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan perintah Allah yang paling utama adalah memurnikan tauhid kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, baik dalam masalah ibadah dan pengabdian, juga dalam masalah ketaatan dan ketundukan kepada syariat-Nya.

Sesungguhnya kematian akan tetap datang ke manapun kita lari dan di manapun kita sembunyi. Tidak ada kekuatan di alam raya yang bisa melawan ketetapan ilahi ini. Dan setelah kematian, setiap orang akan mendapat balasan dari amal yang telah dikerjakannya di dunia. Maka bertakwalah kepada Allah, Wahai hamba-hamba Allah! Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal ketika kematian datang dan minta diberi kesempatan untuk beramal. Sesungguhnya ajal tidak bisa ditangguhkan dan tidak bisa ditunda barang sesaat.
Ketahuilah! sesungguhnya dunia ini terus berjalan ke belakang meninggalkanmu, dan akhirat berjalan mendatangi. Ingatlah saat kematian dan perpindahan ke alam Barzah. Dan (ingatlah) yang akan tergambarkan di hadapanmu, berupa banyaknya keburukan dan sedikitnya kebaikan. Maka, apa yang ingin engkau amalkan pada saat itu, segeralah amalkan sejak hari ini. Dan apa yang ingin engkau tinggalkan saat itu, maka tinggalkanlah sejak sekarang.

Maka seandainya setelah mati, kamu dibiarkan. Sesungguhnya kematian itu merupakan kenyamanan bagi seluruh yang hidup. Namun. jika kamu telah mati, kamu pasti dibangkitkan dan akan ditanya tentang segala sesuatu, lalau diberi balasan dari setiap perbuatan. Kalau seperti itu, maka kematian merupakan sesuatu yang menakutkan dan menghawatirkan. Wallahu Ta’ala a’lam! 
(voa-islam/arrahmah.com)

SUMBER : AR-RAHMAH